DUARR!
Terdengar sebuah letusan yang entah bunyi senjata atau petasan di telinga kami yang sebelah kanan. Sebentar tuli, sebentar berdengung, sebentar clingak-clinguk, sebentar bingung.
“Apa ini?”
“Bunyi apa yang bikin kuping kanan kami serasa tuli seperti ini?”
“Hihihihii…” Lalu terdengar tawa—ringkik meninggi, lengking—kuntilanak atau centring manik di telinga kami sebelah kiri.
Angin dingin terasa menggerayangi sekujur tubuh, kami bergidik ngeri. “A—apa pula itu?” Tanya kami saling berbisik—terbata lalu terbenam dalam ketakutan sendiri. Moncong bulan yang sedang dinikmati pun seketika berubah jadi penampakan serigala yang sedang melolong.
“Aauuuuuu…”
“HWARAKADAH!” Maki kami atas segala kengerian ini.
“Hihihihi…hihihiiii…” Terdengar lagi tawa ringkik semakin meninggi kali ini, dan…d—dan semakin mendekat di telinga sebelah kiri. Nadanya kian menusuk. Inilah kali pertamanya kami merasa ingin tuli, tuli di telinga sebelah kiri. Berharap tawa ringkik itu memecahkan genderang telinga ini sampai congean. Biarlah kami tak lagi bisa mendengar petuah kiyai Majnun, kami tak ingin lagi mendengar tawa—ringkik yang menyebabkan segala kengerian ini, dan biarlah kami congean. Tapi dengan sisa keberanian yang sebesar upil akhirnya kami pun berontak. Tersadar tak bisa tinggal diam dalam diam yang tak bisa tertinggal.
“harus BERANI!!” Teriak kami walau masih di dalam bathin karena takut terdengar oleh aden-aden (baca = Dedemit) yang akan marah mengamuk karena merasa tertantang. Dan kami pun menoleh ke arah sumber tawa di dekat telinga kiri.
“Astagfirullahhaladzim…”
“Subhanallah, Allahu akbar…”
Se-tubuh ini terasa beku disuguhi pemandangan yang maha dahsyat tak terkira seperti itu. Alangkah terkejut kami melihatnya, terkejut sembari terus mengucap puji-pujian pada Sang Hyangwidi yang hanya bisa terucap ketika kami dalam keadaan tak sadar saja sebenarnya.
“Mahluk apa kau ini? Begitu cantik memesona, indah, rambutmu yang panjang tergerai bagai gerimis turun dari nirwana. Ohh mungkin ini berlebihan, t—tapi ini…akh sangat mengagumkan! Adakah kau ini seorang bidadari?”
“Katakan, siapa namamu?” Tanya kami padanya.
“Aku?”
“Ya kamu!”
“Aku adalah syetan.”
“Syetan? Hohoho kami tak percaya.”
“Jelas-jelas kau seorang perempuan, ya kau seorang perempuan dan kau seorang manusia, manusia seperti kami. Janganlah kau men-syetankan manusia!” Jelas kami padanya.
“Heh, tidak! Aku tidak men-syetankan manusia tapi kalianlah yang me-manusiakan syetan!” Jawabnya dingin tanpa memandang sedikitpun ke arah kami.
“Kami masih tak percaya! Kalau begitu tampakanlah wujud aslimu kepada kami.”
“wujud asli ku ya seperti ini, seperti yang kalian lihat sendiri dengan mata melotot yang hampir keluar dari mangkuknya!”
“Haha..kalau begitu kau memang manusia, bukan syetan seperti yang kau bilang barusan.” Timpal kami dengan penuh kegirangan dan kemenangan seperti sekelompok nelayan yg baru menemukan seekor putri duyung sekarat di bibir pantai dan siap untuk dijadikan ikan asin.
“Jadi kau yang membuat tawa—ringkik nan mengerikan tadi! Kami kira siapa, tapi apa kau juga yg membuat suara ledakan nan menulikan kuping kanan kami tadi?” Tanya kami keheranan.
“Iya itu perbuatanku.”
"Kenapa?"
“Karena telinga kanan kalian menguping sesuatu yang kubisikan untuk telinga kiri kalian, jadi kuputuskan saja membuatnya tuli untuk sementara waktu.”
“Hhh… Siapa sebenarnya kau ini?”, tanya kami lagi dengan sedikit kesal.
“Sudah kubilang aku syetan tapi aku juga manusia.”
“Yang benar yang mana?”
“Yang benar, aku ini manusia tapi aku juga syetan.” Jawabnya enteng.
“Kau ini aneh! Bikin bingung kami saja.”
“Tak usah bingung, tak pernahkah kalian mendengar firman Allah yang satu ini?” Dia menarik napas panjang lalu membisikan sebuah ayat Al quran di muka telinga kiri kami.
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)”*
“Nah aku adalah syetan dari jenis manusia.” Tambahnya singkat.
Kami termenung, menebak-nebak apa maksud yang hendak ia sampaikan kepada kami. Apakah dengan mengakunya dia seorang syetan yang lalu membisikan sesuatu pada diri kami, maka otomatis kami termasuk golongannya: golongan syetan.
“Hei kau ini manusia tapi kenapa begitu bangga dengan menyebut dirimu sebagai syetan?” Tanya kami dengan rasa sedikit kesal.
“Bukan merasa bangga menjadi syetan.”
“Lantas?!”
“Aku hanya terlalu malu untuk merasa diri sebagai manusia.” Jawabnya pelan.
“Lalu apakah kami termasuk golonganmu karena kau telah membisikan sesuatu di telinga kiri ini?”
“Tidak! Tidak, selama bisikanku tidak menguasaimu.”
“Apa maksudmu?”
“Sini! Mana telinga kirimu, akan kubisikan satu ayat lagi dalam Al quran.” Kali ini dia menarik kuping kiri kami dan membisikan kalimat yang cukup asing bagi kami.
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan”**
“Ah apakah bisikanmu telah menguasai kami?” Lagi-lagi kami bertanya dengan penuh kecemasan.
“Untuk yang satu itu, kalian tanyalah pada diri kalian sendiri!”
“Maaf, sudah waktunya aku pergi! Masih banyak telinga kanan yang harus aku tulikan dan masih banyak pula telinga kiri yang harus aku bisiki.” Dia berdiri kemudian berlalu meninggalkan kami dengan penuh kesemuan. Begitu saja.
EDAN, dasar syetan yang aneh. Mana ada orang yang mengaku syetan bisa lebih beragama dari kami semua yang merasa manusia. Tapi kenapa kami begitu cemas tadi. Apa yang kami cemaskan? Apakah karena kami merasa telah menjadi syetan tapi tak kunjung mengikrarkan diri sebagai syetan? Atau karena kami ingin dianggap sebagai manusia tapi masih ingin tetap berkelakuan syetan? Lantas apa bedanya! Ahh semua ini semu, memang-memang semu. Daging secuil dalam dada kami kini ikut nimbrung berbicara.
“Sudah! Sudah! Tak perlu kalian ributkan soal itu!”
“Ikuti saja apa kataku, dan berbuatlah semau kataku dan kalian akan merasa bahagia”, tambahnya lagi.
“Hey siapa kau?”
“Aku? Aku tuanmu, dari dulu sampai sekarang aku adalah tuanmu, tuan kalian! Tuan yang tumbuh dalam dada kalian masing-masing.”
“Ohhh…” Jawab kami hampir bersamaan. Terdiam sejenak lalu kami pun mulai saling berbisik.
SELESAI
Wizurai...
==========================================================
Catatan :
*= Surat Al An’am 112
**= Surat Al Mujadilah 19